Meski berasal dari bahasa Arab, “halalbihalal” justru tidak dikenal di Arab. Istilah justru dicetuskan di Indonesia oleh KH Wahab Chasbullah atas permintaan Presiden Soekarno. Ini adalah satu “local genius” Nusantara.
Lebaran Idulfitri tahun 1444 Hijriah sebentar lagi tiba. Momen itu disambut meriah umat Islam. Di Indonesia, salah satu kemeriahan itu berupa ”halalbihalal”.
Meski berasal dari bahasa Arab, ”halalbihalal” justru tidak populer di negeri Timur Tengah itu. Menurut pengajar antropologi budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Arab Saudi, Sumanto Al Qurtuby, saat dihubungi dari Jakarta, Senin (17/4/2023), di sana ada kebiasaan kumpul-kumpul keluarga saat Idul Fitri. Mereka saling mengucapkan id mubarak (hari raya yang diberkahi) dan kullu am wa antum bikhair (semoga kebaikan meliputi kalian semua sepanjang tahun).
Sembari reriungan, keluarga makan bersama, lazimnya pada siang atau malam hari. Mereka juga memberi uang yang lazim disebut idiyah kepada sanak keluarga. Semacam angpau di Indonesia. Namun, tidak ada acara kumpul-kumpul yang digelar besar-besaran secara terbuka oleh lembaga, apalagi dikasih tajuk ”halalbihalal”.
Lantas bagaimana ceritanya istilah itu justru berkembang di Indonesia? Merujuk catatan KH Masdar Farid Mas’udi, ”KH Wahab Chasbullah Penggagas Istilah halal bihalal’”, di situs NUOnline, edisi Jumat, 17 Juli 2015, istilah ”halalbihalal” awalnya digagas oleh KH Abdul Wahab Chasbullah. Diceritakan, pada tahun 1948, Indonesia dirundung gejala perpecahan. Para elite politik saling bertengkar, sulit akur.
Pada pertengahan Ramadhan tahun 1948, Presiden Soekarno memanggil KH Abdul Wahab Chasbullah (saat itu sebagai Dewan Pertimbangan Agung) ke Istana Negara. Dia diminta saran untuk meredakan keretakan politik. Kiai Wahab mengusulkan digelar silaturahmi saat hari raya Idul Fitri. Namun, Presiden ingin istilah yang khusus. Kiai menyodorkan istilah ”halalbihalal” dalam pengertian saling memaafkan, menghalalkan satu sama lain.
Sesuai saran itu, Bung Karno menggelar silaturahmi di Istana Negara pada Idul Fitri, yang diberi tajuk ”halalbihalal”. Para tokoh politik hadir, duduk satu meja dalam suasana saling memaafkan. Dalam momen yang nyaman itu, semua pihak lebih mudah untuk membangun dialog yang produktif demi bekerja sama mendorong kemajuan bangsa.
Setelah itu, kegiatan serupa dimassalkan di banyak lembaga pemerintahan, pesantren, dan khalayak luas. ”Halalbihalal” pun menjadi tradisi masyarakat Indonesia setiap Lebaran sampai sekarang.
Secara bahasa, ”halalbihalal” dapat diurai melalui dua bentuk ungkapan. Pertama, thalabu halal bithariqin halal (mencari penyelesaian masalah dengan cara mengampuni kesalahan). Kedua, halal yujza’u bihalal (pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan). Keduanya punya semangat sama, yaitu saling membebaskan kesalahan.
Sejarah halalbihalal menggambarkan kearifan lokal bangsa Indonesia saat menyerap ajaran Islam dan membumikannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada anjuran untuk bersilaturahmi dan saling memaafkan pada Idul Fitri. Dorongan itu lantas diadaptasikan sesuai konteks saat itu.
Semangat halalbihalal sebagaimana masa Presiden Soekarno juga masih relevan untuk digiatkan pada masa kini. Ketika elite politik dan masyarakat rentan terbelah dalam kelompok-kelompok kepentingan, patut diserukan untuk duduk bersama, saling memaafkan atas kesalahan, menerima satu sama lain, dan berkomitmen memajukan negeri.
Halalbihalal dinukil dari bahasa Arab. Semangatnya berangkat dari ajaran Islam, silaturahmi saat Hari Raya. Namun, istilah dan praktiknya merupakan kreasi baru. Kreasi ini menunjukkan ”local genius” (kecerdasan khas) Nusantara.
(Kompas)