Masyarakat perlu memiliki pemahaman umum yang memadai tentang AI. Pekerjaan rumah yang sangat menantang bagi para akademisi hingga pembuat kebijakan teknologi adalah untuk lebih membumikan narasi tentang AI.
Diskusi dan perdebatan terkait dampak kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) terhadap kemanusiaan meningkat pesat setelah dirilisnya petisi bertajuk ”Pause Giant AI Experiments: An Open Letter”. Akademisi dalam bidang AI seperti Yoshua Bengio, profesor di Universitas Montreal, Kanada; Stuart Russel, profesor Ilmu Komputer di University of California, Berkeley; serta pengusaha yang berpengaruh dalam industri teknologi, seperti Elon Musk, CEO dari SpaceX, Tesla, dan Twitter; dan Steve Wozniak sebagai salah satu pendiri Apple Computer ikut berpartisipasi dalam petisi tersebut.
Mereka meminta moratorium pengembangan sistem kecerdasan buatan yang lebih canggih dari GPT-4 selama setidaknya enam bulan ke depan. Hingga Jumat (7/4/2023) pukul 09.30 WIB, 15.533 orang telah menyatakan dukungannya. Petisi ini kemudian diulas oleh beberapa media arus utama di Amerika Serikat dan menjadi pemicu pembicaraan publik terutama karena daya tarik dari nama-nama besar di belakangnya.
Petisi ”AI Pause” menyebutkan, penelitian dan pengembangan sistem AI berpotensi memiliki dampak negatif yang signifikan bagi kemanusiaan di masa depan, misalnya kekacauan ekosistem informasi karena propaganda berisi berita bohong dan disinformasi, hilangnya berbagai pekerjaan karena adanya proses otomatisasi kerja, hingga potensi manusia ”digantikan” oleh AI yang diklaim dapat menjadi ”sangat cerdas”
Tidak lama berselang, peneliti etika kecerdasan buatan seperti Timnit Gebru, Emily M Bender, Angelina McMillan-Major, dan Margaret Mitchell dari lembaga bernama dair-institute, yang penelitiannya juga dikutip di petisi ”AI Pause” tersebut, turut memberikan tanggapan. Mereka setuju mengenai dampak buruk AI dan ikut mendorong upaya regulasi yang lebih ketat terkait pengembangan AI.
Namun, mereka menekankan bahwa yang perlu diperhatikan secara lebih serius adalah dampak yang terjadi pada saat ini, alih-alih dampak hipotetis di masa depan. Mereka menilai bahwa petisi tersebut justru mendorong perdebatan penuh spekulasi dan memicu munculnya ekspektasi publik akan masa depan umat manusia yang pasti berubah secara dramatis karena kehadiran AI.
Sejak peluncuran ChatGPT pada November 2022, sekitar 100 juta pengguna telah mendaftarkan dirinya.
Narasi hiperbolis muncul, misalnya, sebagai trik pemasaran bagi para pelaku industri untuk memopulerkan produk mereka atau bagi pemerintah menjustifikasi pembuatan kebijakan dan aturan yang berlebihan dan tidak demokratis seperti pemblokiran akses ke teknologi tertentu. Ketika ini terjadi dalam konteks AI, ekspektasi masyarakat rentan terjebak kepada kerangka pikir akan ketakjuban dan ”kegilaan kepada AI” atau ”AI Hype”.
Padahal, seperti dituliskan oleh Gebru dan kawan-kawan (2023), lebih banyak energi, sumber daya, dan perhatian perlu diarahkan kepada transparansi dan akuntabilitas arsitektur model dan data yang digunakan untuk melatih AI, adanya praktik eksploitasi yang melandasi bekerjanya sistem AI, serta konsolidasi dan konsentrasi kekuasaan korporasi pengembang AI tanpa pengawasan dan pengontrolan ketat. AI dipandang dapat memperlebar ketimpangan sosial di masyarakat, sehingga, dengan kata lain, AI perlu dilihat sebagai sebuah isu publik.
Kecerdasan buatan sebagai isu publik
Ketakjuban dan kegilaan kepada teknologi, termasuk pada AI, akan mengaburkan permasalahan riil tentangnya di masyarakat. Konsekuensi dari ekspektasi akan AI sebagai isu publik berarti memastikan bahwa masyarakat perlu memiliki pemahaman umum yang memadai tentang AI.
Misalnya, memahami bahwa AI adalah bagian dari perkembangan sains, pemodelan statistik, dan matematika yang pasti memiliki beragam keterbatasan dan ketidakakuratan. Hal ini tentu menjadi pekerjaan rumah yang sangat menantang bagi para akademisi, jurnalis teknologi, masyarakat sipil pegiat isu teknologi, hingga pembuat kebijakan tentang teknologi untuk lebih membumikan narasi tentang AI.
Di satu sisi, perlu dipertimbangkan untuk memasukkan materi literasi mengenai AI dalam upaya edukasi publik seperti pada dan di sisi lain perlu dilakukan studi yang komprehensif dan bersifat rutin seperti survei yang dilakukan di Australia terkait pengetahuan dan persepsi publik tentang AI serta dampaknya bagi masyarakat. Apalagi, dalam survei terkait teknologi seperti tentang tingkat literasi digital yang telah dilakukan di Indonesia, terdapat kecenderungan untuk hanya mengukur corak penggunaan teknologi alih-alih mengeksplorasi pemahaman masyarakat terhadap cara kerja teknologi tersebut.
Dengan membumikan AI sebagai bagian dari isu publik, berarti masyarakat juga perlu dihadapkan kepada jurang ketimpangan yang jelas menganga antara jargon-jargon bernada futuristis seperti ”revolusi industri 4.0”, ”masyarakat 5.0”, ”pembelajaran mesin”, ”algoritma”, ”blockchain”, ”NFT”, hingga ”metaverse”, dengan kondisi riil yang ada di Indonesia. Misalnya, kesenjangan akses internet di Indonesia, masih rendahnya kemampuan dan talenta digital masyarakat, belum dipahaminya hak asasi manusia terkait potensi bias dalam otomisasi, serta gagapnya pemerintah melakukan pengelolaan kebijakan (governance) terkait teknologi.
Perlu ada mekanisme untuk, pertama, menuntut akuntabilitas dalam pengembangan dan pengaturan AI, baik dari korporasi pengembang AI maupun dari pemerintah. Kedua, menjamin organisasi masyarakat sipil dan masyarakat yang terdampak secara langsung dari pembuatan dan penggunaan AI untuk dapat mengawasi dan turut berpartisipasi secara aktif dalam meminimalisasi potensi timbulnya dampak negatif dari AI. Dengan melihat AI sebagai isu publik, barulah teknologi tersebut dapat menjadi salah satu, bukan satu-satunya alternatif untuk menjawab beragam permasalahan kompleks di masyarakat hari ini.
(Kompas)