
Kompaspemburukeadilan.com, Sampit, –
Yayasan AL ABIDIN Tanah Mas Sampit Mengetuk Pintu Hati Kita Para Dermawan
Yayasan pendidikan agama swasta seringkali memiliki tujuan mulia yang tidak selalu mendapat perhatian atau dukungan penuh dari pemerintah, bahkan terkadang terabaikan. Tujuan-tujuan ini berfokus pada pengembangan moral dan spiritual, yang melengkapi, dan kadang melampaui pendidikan formal yang didukung negara, hingga tujuan-tujuan mulia seperti:
Menyediakan dan memajukan akses pendidikan di wilayah terpencil dan marginal.
Membentuk karakter dan akhlak mulia.
Memperkuat identitas budaya dan kearifan lokal.
Mengembangkan potensi masyarakat melalui pendidikan.
Mendorong toleransi antarumat beragama.
Menyediakan pendidikan berkualitas dengan biaya terjangkau.
Mengapa tujuan ini bisa terabaikan? Salah satu sebab karena kurangnya perhatian dari pemerintah, sebab biasanya pemerintah lebih berfokus pada lembaga pendidikan formal yang didanai negara.
Seperti yang dialami Yayasan AL ABIDIN Tanah Mas Sampit, Kalimantan Tengah, yang sudah tahunan berdiri dan pembangunannya dilaksanakan dengan swadaya masyarakat. Padahal, dulu awal-awal berdirinya yayasan yang juga menaungi pondok pesantren ini memiliki santri hingga 150 orang. Tapi begitulah, menurut Ustadz Marjawi yang juga pembina yayasan ini, karena operasional yayasan tidak ditunjang dengan standar ekonomi yang memadai, sehingga para santri tidak bisa mondok karena asramanya belum ada. Jadi, habis belajar dan ngaji, mereka kembali ke rumah masing-masing.
Padahal, menurut Ustadz Marjawi, selayaknya santri-santri itu mondok agar lebih efektif dalam menanamkan nilai-nilai kebenaran di hati dan pikiran mereka, khususnya dalam menjaga salat wajib lima waktu.
Masih menurut ustadz asal Jawa Timur kelahiran Sampit ini, dirinya sebagai penggagas lahirnya Yayasan AL ABIDIN yang sekaligus menjadi pembina yayasan ini mengatakan bahwa dirinya dan kawan-kawan sangat berharap ada perhatian dari pihak-pihak yang berkewajiban membantu yayasan-yayasan pendidikan yang telah berniat baik memperkuat program pemerintah dalam mencerdaskan anak bangsa. Saat ini, menurut Marjawi, sudah banyak santri yang keluar dan kini tinggal sekitar 60-an santri saja, dengan hanya dua orang pendidik. Itu pun kehidupan kesehariannya kami tanggung, karena para guru tersebut hanya dapat diberikan beberapa ratus ribu rupiah per bulannya.
“Alhamdulillah, masih untung ada yang berniat mengabdi dengan modal keikhlasan tanpa memperhitungkan penghasilan,” ungkap sang ustadz dengan penuh harapan, bahwa ke depan akan lebih baik dengan adanya dukungan dan perhatian dari orang-orang baik pula.
Sementara itu, Muliady Muh. Djufri, aktivis dan pemerhati masalah-masalah sosial, menegaskan bahwa meskipun tidak ada pasal tunggal yang secara eksplisit mewajibkan bantuan kepada yayasan pendidikan swasta untuk mencerdaskan bangsa, namun ada beberapa pasal dan putusan Mahkamah Konstitusi yang secara keseluruhan menegaskan kewajiban negara untuk menyelenggarakan dan membiayai pendidikan, termasuk di lembaga swasta, demi mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Jadi sangat disayangkan jika ada lembaga pendidikan yang telah tulus dan berniat baik membantu mensukseskan program pemerintah untuk mencerdaskan anak bangsa, tapi justru tertatih-tatih untuk bangkit secara layak. Apalagi berkedudukan di daerah yang jumlah APBD-nya ratusan miliar dan bahkan triliunan, tapi kok yayasan-yayasan yang ada di daerah itu tidak diperhatikan sebagaimana mestinya,” ujarnya.
Bahkan menurut Muliady, yang juga jurnalis senior ini, dirinya pernah menemukan daftar penerima dana hibah di salah satu daerah, di mana orang-orang yang menerima dana hibah tersebut adalah orang-orang dekat kepala daerah. Bahkan ada yang menerima 700 hingga 800 juta hanya untuk kegiatan seremonial yang sama sekali tidak menyentuh langsung kepentingan dan kebutuhan masyarakat miskin.
Bahkan menurutnya, ada penerima dana hibah yang mengaku bahwa meskipun jumlah dana hibah yang tercantum besar, namun di dalamnya terdapat titipan orang-orang tertentu yang ditugaskan oleh kepala daerah untuk ikut “menggerogoti” dana tersebut dengan menumpang nama pada lembaga lain. Lebih aneh lagi, ada perkumpulan pengelolaan keuangan swasta yang tidak seharusnya memperoleh dana hibah, tapi justru diberi dana hibah karena ulah oknum anggota DPRD yang tidak bertanggung jawab.
Padahal, seharusnya yayasan-yayasan atau lembaga pendidikan, pondok pesantren, dan panti asuhanlah yang diprioritaskan dalam distribusi bantuan dana pemerintah berbentuk dana hibah tersebut.
“Memang agak rumit,” ungkap Muliady yang mantan santri ini, “jika pemimpin daerah itu dangkal pemahaman agamanya dan lebih doyan menghadiri pesta berjoget-joget daripada hadir di acara-acara keagamaan.”
(TIM)