Menjerat “Passobis”: Kerumitan Hukum Pidana dalam Era Penipuan Digital.

Menjerat “Passobis”: Kerumitan Hukum Pidana dalam Era Penipuan Digital.

KompasPemburuKeadilan.com

Fenomena penipuan online kian mengkhawatirkan. Di Sulawesi Selatan kita mengenalnya dengan istilah “Passobis”, sebuah istilah populer yang merujuk pada penipuan berbasis teknologi informasi mulai dari lowongan kerja palsu,jual beli fiktif, undangan fiktif, investasi bodong, hingga permintaan OTP dari “CS palsu”. Dalam banyak kasus, kerugian korban mencapai jutaan bahkan miliaran rupiah. Ironisnya, laporan terus masuk ke kepolisian, tetapi hasil pengungkapan kerap nihil atau berhenti di pelaku lapangan yang tidak mengetahui struktur jaringannya.

Sebagai Akademisi dan Praktisi Hukum, saya melihat gejala ini bukan hanya sebagai kegagalan sistemik dalam penegakan hukum, melainkan juga sebagai tantangan struktural yang lahir dari benturan antara hukum konvensional dan modus kejahatan digital yang sangat dinamis.

Penipuan konvensional yang sebelumnya berbasis tatap muka kini bermetamorfosis menjadi kejahatan siber lintas wilayah bahkan lintas negara. Modus operandinya bukan lagi sekadar bujuk rayu, melainkan simulasi yang menyerupai prosedur resmi. Pelaku memanfaatkan deepfake voice, situs tiruan, dan bahkan menyusup ke sistem keamanan digital yang lemah. Mereka membangun kepercayaan publik melalui rekayasa sosial yang terstruktur dan canggih.

Kejahatan “Passobis” bekerja layaknya perusahan besar yang memiliki hierarki, pembagian tugas, dan sistem pembayaran tersendiri. Ada “operator”, “scammer”, “pengambil uang”, “pengelola akun”, hingga “joki rekening”. Jejak digital mereka pun terfragmentasi, membuat pelacakan memerlukan keahlian dan sumber daya teknologi tingkat tinggi.

Secara yuridis formal , penipuan online sebenarnya telah diatur melalui Pasal 28 ayat (1) jo Pasal 45A ayat (1) UU ITE, serta Pasal 378 KUHP. Namun, pengaturannya belum mampu menjawab kompleksitas dan kecepatan transformasi digital. Apalagi ketika pelaku berada di luar negeri atau menggunakan alat penyamaran (anonymizer, VPN, virtual phone numbers), yurisdiksi menjadi kabur, dan aparat kehilangan kemampuan intervensi langsung.

Baca Juga  Presiden Joko Widodo Lantik 906 Perwira TNI-Polri Dalam Upacara Praspa 2024

Kepolisian sebagai ujung tombak penyelidikan menghadapi tantangan besar. Pertama, keterbatasan cyber forensics dan SDM yang menguasai teknik digital tracing. Kedua, minimnya koordinasi lintas wilayah dan lembaga. Kasus yang terjadi di Jakarta, misalnya, bisa saja melibatkan pelaku di Sulawesi, dana yang masuk ke rekening di Kalimantan, dan server situs berada di luar negeri.

Ketiga, tidak ada sentralisasi data rekening mencurigakan secara real-time antara kepolisian, OJK, dan perbankan. Ini menyebabkan waktu respons lambat dan pelaku keburu menguras dana sebelum rekening bisa diblokir. Keempat, adanya rekening zombie atau rekening sewaan yang membuat pelaku utama tidak tersentuh.

Dari sisi pembuktian, penyidik harus membuktikan adanya niat jahat (mens rea) dan perbuatan (actus reus) dalam dunia yang nyaris tanpa saksi fisik. Bukti berupa tangkapan layar, rekaman suara, atau alur transfer dana sering kali diragukan keabsahannya di persidangan jika tidak melalui proses digital forensik yang ketat.

Sementara itu, korban justru kerap mengalami reviktimisasi. Alih-alih mendapatkan keadilan, mereka dipingpong dari satu lembaga ke lembaga lain, dengan alasan bahwa perkara ini sulit diungkap, pelaku tidak dikenal, atau prosesnya terlalu rumit. Beberapa bahkan menjadi enggan melapor karena merasa sia-sia dan malu.

Menurut saya, Kondisi ini mendesak pemerintah untuk melakukan langkah reformasi menyeluruh. Pertama, revisi UU ITE agar lebih spesifik mengatur kejahatan digital terstruktur dan mencantumkan mekanisme penegakan hukum yang melibatkan lintas lembaga, termasuk otoritas keuangan dan penyedia jasa teknologi.

Kedua, pembentukan National Cybercrime Response Task Force lintas instansi, dengan akses real-time ke data transaksi mencurigakan, serta kapasitas digital intelligence yang mumpuni. Ketiga, penguatan unit siber di tingkat Polda dan Polres, bukan sekadar formalitas, tapi dengan SDM, anggaran, dan sistem kerja berbasis teknologi terkini.

Baca Juga  Soal Penerbitan Sertifikat Rumah Nelayan di Desa Bulili, Delpan Yanjo: Kami akan gelar RDP

Keempat, dibutuhkan regulasi baru mengenai verifikasi identitas digital, baik untuk pembukaan rekening maupun penggunaan nomor ponsel. Tidak boleh lagi ada ribuan rekening aktif yang tidak terverifikasi identitas pemiliknya secara faktual.

Jika hukum pidana tetap berpijak pada pendekatan konvensional dan menolak berevolusi mengikuti modus kejahatan digital, maka negara akan terus kalah langkah. “Passobis” akan terus berkembang, menjelma menjadi bentuk-bentuk penipuan yang lebih rapi, lebih licin, dan lebih sulit dijerat hukum.

Penegakan hukum dalam dunia digital memerlukan keberanian untuk meninggalkan prosedur usang, dan berinovasi dalam instrumen hukum, struktur kelembagaan, dan cara berpikir aparat penegak hukum. Sebab kejahatan digital hanya bisa dilawan oleh sistem hukum yang juga digital.

“Hukum tidak boleh tertinggal oleh kejahatan”.

 

Oleh: RusdiantoSudirman
Dosen IAIN Parepare, Advokat dan Ketua LBH GP Ansor Kota Parepare