
Kompaspemburukeadilan.com
Pemerintah baru-baru ini mengumumkan pembentukan satuan tugas (Satgas) untuk memberantas premanisme dan ormas nakal yang dianggap meresahkan masyarakat. Langkah ini, meski tampak tegas dan populis, mengundang sejumlah pertanyaan kritis dari sudut pandang hukum tata negara. Apakah pembentukan Satgas ini merupakan solusi konstitusional yang tepat? Ataukah justru menjadi simbol kegagalan aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas konstitusionalnya?
Secara yuridis formal, pembentukan Satgas oleh pemerintah dapat merujuk pada kewenangan diskresi yang diberikan kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi (Pasal 4 ayat (1) UUD 1945). Dalam praktik administrasi negara, pembentukan satgas lintas sektor diperbolehkan sebagai bagian dari fungsi koordinasi untuk menangani persoalan lintas lembaga atau yang bersifat darurat.
Namun demikian, pembentukan Satgas yang ditujukan untuk menangani premanisme dan penyalahgunaan atribut ormas patut dipertanyakan keabsahannya jika mengaburkan peran dan fungsi lembaga penegak hukum yang sudah ada. Tugas memberantas premanisme merupakan kewenangan Polri sebagai pelaksana undang-undang berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Sementara pengawasan terhadap ormas telah diatur secara khusus dalam UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (diubah dengan Perppu No. 2 Tahun 2017 yang disahkan menjadi UU No. 16 Tahun 2017).
Maka, Satgas tersebut tidak boleh mengambil alih fungsi utama penegak hukum, melainkan hanya bersifat koordinatif dan pendukung. Jika Satgas tersebut bertindak represif tanpa dasar hukum yang jelas, seperti melakukan penangkapan atau pembubaran ormas tanpa proses peradilan, maka dapat terjadi pelanggaran prinsip due process of law.
Fakta bahwa negara merasa perlu membentuk Satgas khusus untuk mengatasi premanisme menunjukkan bahwa fungsi dasar aparat kepolisian tidak berjalan secara efektif. Premanisme bukan fenomena baru. Ia tumbuh subur di berbagai daerah dengan pola yang sama, intimidasi, pemerasan, penguasaan wilayah publik, dan relasi transaksional dengan oknum aparat.
Dalam banyak kasus, praktik premanisme justru bertahan karena pembiaran atau bahkan kolusi dengan sebagian aparat penegak hukum. Hal ini diperkuat oleh laporan Komnas HAM maupun Ombudsman yang kerap menerima pengaduan masyarakat terkait keterlibatan oknum aparat dalam pembekingan aktivitas preman.
Padahal, secara normatif, KUHP telah menyediakan instrumen untuk menindak tindak pidana pemerasan, penganiayaan, dan kekerasan yang kerap dilakukan oleh kelompok preman. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menjamin perlindungan masyarakat dari intimidasi dan ketakutan. Maka, jika instrumen hukum sudah tersedia, mengapa masih dibutuhkan satgas baru?
Istilah “ormas nakal” juga perlu dikritisi secara konseptual dan hukum. Negara tidak boleh menggunakan istilah normatif yang tidak dikenal dalam sistem hukum positif. Ormas adalah bagian dari hak konstitusional warga negara untuk berserikat dan berkumpul (Pasal 28E ayat (3) UUD 1945). Maka, setiap tindakan pembubaran atau pembatasan aktivitas ormas harus dilakukan dengan mekanisme hukum yang akuntabel, bukan melalui satgas yang bekerja secara eksekutif dan ad hoc.
Pelarangan terhadap ormas yang melakukan kekerasan, intoleransi, atau makar sudah diatur dalam UU Ormas.
Namun, perlu ditekankan bahwa pendekatan represif harus tetap memperhatikan prinsip negara hukum. Tanpa proses hukum yang transparan, tindakan pembubaran ormas bisa menjadi alat represi politik terhadap kelompok yang berseberangan dengan pemerintah.
Pembentukan Satgas ini patut dikritisi sebagai langkah instan yang tidak menyentuh akar masalah. Alih-alih memperbaiki kelembagaan kepolisian dan memperkuat fungsi pengawasan terhadap ormas, pemerintah justru memilih pendekatan temporer dan simbolik.
Ini menunjukkan kecenderungan pemerintah untuk mengelola masalah hukum melalui pendekatan ad hoc, bukan melalui reformasi institusional. Padahal, jika aparat penegak hukum berfungsi secara optimal, keberadaan Satgas semacam ini tidak diperlukan.
Lebih jauh, pembentukan Satgas dapat menciptakan tumpang tindih kewenangan dan bahkan berpotensi disalahgunakan untuk tujuan politis, terutama menjelang momentum elektoral. Pemerintah harus hati-hati agar tidak menggunakan Satgas sebagai instrumen kontrol sosial yang melampaui batas kewenangan konstitusional.
Negara hukum tidak boleh dikelola dengan logika darurat yang berkepanjangan. Pembentukan Satgas harus dilihat sebagai cermin dari krisis kepercayaan terhadap institusi hukum yang seharusnya menjadi garda depan dalam menjaga ketertiban dan keadilan.
Pemerintah seharusnya memfokuskan energi pada reformasi kepolisian, penguatan sistem pengawasan terhadap ormas, dan membangun budaya hukum yang menghormati due process. Tanpa itu, Satgas hanya akan menjadi etalase sementara yang menyembunyikan bobroknya penegakan hukum kita.
Oleh: Rusdianto Sudirman
Peneliti FPMS, Dosen IAIN Parepare , Advokat dan Ketua LBH GP Ansor Kota Parepare