
KompasPemburuKeadilan.xomt. Isu ijazah palsu Presiden Joko Widodo kembali mengemuka. Kali ini tak hanya berputar di ruang percakapan media sosial, tetapi mengarah pada pelaporan pidana. Mantan Presiden Jokowi yang turun tangan melaporkan sejumlah pihak dengan dugaan pencemaran nama baik. Laporan ini memunculkan perdebatan, apakah ini bentuk pembelaan hukum atas serangan pribadi, atau pembungkaman terhadap kritik publik? Dalam kacamata hukum pidana, jawabannya bergantung pada satu hal yaitu bukti.
Tuduhan menggunakan ijazah palsu bukan sekadar kritik terhadap riwayat pendidikan seseorang. Ia menyasar langsung reputasi dan integritas personal. Jika dilakukan tanpa dasar bukti yang sah, tuduhan ini dapat digolongkan sebagai pencemaran nama baik, bahkan fitnah.
Secara yuridis formal KUHP mengatur secara tegas soal ini. Pasal 310 mengatur pencemaran nama baik, sementara Pasal 311 menyasar fitnah pencemaran yang dilakukan dengan tuduhan yang tidak bisa dibuktikan. Pasal 310 mensyaratkan adanya tuduhan yang disebarkan agar diketahui umum, dengan niat merusak kehormatan seseorang. Pasal 311 menambahkan konsekuensi jika tuduhan itu dilakukan “bertentangan dengan apa yang diketahuinya” dan tidak terbukti benar.
Secara sederhana siapa menuduh, harus mampu membuktikan.
Soal ijazah, Universitas Gadjah Mada telah angkat bicara. Mereka menegaskan Jokowi adalah lulusan sah jurusan Kehutanan tahun 1985. Pernyataan itu diperkuat berbagai dokumen akademik dan testimoni pengajar. Namun sebagian orang tetap bersikukuh dengan narasi bahwa Jokowi bukan pemilik sah ijazah tersebut. Tanpa menyodorkan bukti baru, mereka menggelontorkan tuduhan melalui media sosial, video, dan bahkan forum diskusi publik. Di titik inilah persoalan berpindah dari kritik ke ranah pidana.
Mereka yang menyampaikan tuduhan ini kini berhadapan dengan Pasal 310 dan 311 KUHP. Jika tuduhan itu tidak dapat dibuktikan dan dilakukan secara terbuka misalnya melalui kanal YouTube atau media daring maka unsur pencemaran dan niat mempermalukan di hadapan umum dianggap terpenuhi.
Sebagian kalangan menyuarakan kekhawatiran. Mereka melihat pelaporan ini sebagai pembatasan terhadap kebebasan berpendapat. Namun penting dipahami kritik terhadap kebijakan publik tidak sama dengan menyerang pribadi. Menyoal kebijakan presiden semasa menjabat, misalnya tentang infrastruktur, utang negara, atau kebijakan lingkungan, adalah hal yang dilindungi dalam negara demokratis.
Tapi menyerang individu dengan tuduhan pidana apalagi jika tuduhan itu tak berbukti bukan bagian dari hak berekspresi. Itu tindakan yang dapat dikualifikasi sebagai delik pidana.
Hukum pidana tidak melarang publik mengkritik pejabat, tetapi mewajibkan setiap tuduhan serius, apalagi yang menyentuh integritas seseorang, dibarengi dengan bukti kuat. Tanpa itu, hukum memberikan ruang kepada siapa pun termasuk mantan Presiden untuk menuntut keadilan.
Kebebasan berekspresi tidak boleh dibaca sebagai kebebasan untuk mencemarkan nama baik. Dalam sistem hukum Indonesia, kritik harus rasional dan berdasar. Jika tuduhan palsu dibiarkan beredar tanpa koreksi, yang rusak bukan hanya nama baik seseorang, tapi juga tatanan etika publik.
Maka, langkah hukum yang ditempuh oleh Jokowi bukan bentuk anti-kritik, tapi respons atas tuduhan pribadi yang serius dan berulang. Ini sekaligus mengirim pesan bahwa ruang publik harus diisi dengan diskursus yang bertanggung jawab, bukan fitnah.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa demokrasi tidak identik dengan kebebasan tanpa batas. Ia menuntut kedewasaan berpikir dan bertindak. Kritik dibolehkan, bahkan harus, tapi tuduhan pidana tanpa bukti bukan bagian dari kebebasan itu. Apalagi jika dilakukan dengan motif politis, menyasar kehormatan, dan menyebar kebencian.
Penegak hukum mesti tegas memilah antara kritik yang sehat dan fitnah yang merusak. Masyarakat sipil pun perlu sadar bukan setiap pelaporan pidana berarti pembungkaman. Kadang ia adalah pembelaan terakhir dari hak dasar seseorang yakni hak atas nama baik.
***(Hery Panunjuk)
Oleh: Rusdianto Sudirman
Peneliti FPMS, Dosen IAIN Parepare